Sejarah Kota Jepara Jawa Tengah
Sumber : Wikipedia |
Kabupaten Jepara merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Secara etimologis, nama Jepara berasal dari kata "Ujung Para". Disebut Ujung Para karena semula orang-orang dari majapahit yang tengah melakukan perjalanan dan melewati daerah tersebut menyaksikan nelayan-nelayan yang tengah membagi hasil tangkapan ikannya. Dalam Bahasa Jawa membagi berarti "Mara" atau "Para". Dari kata "Mara" atau "Para" itulah orang-orang menyebut daerah itu menjadi Ujung Para yang kemudian menjadi Jumpara, dan Japara. Dan akhirnya pada tahun 1950-an menjadi Jepara.
Sebelum munculnya kerajaan-kerajaan di Tanah Jawa, sudah ada sekelompok penduduk di ujung sebelah utara Pulau Jawa yang diyakini orang-orang dari daerah Yunnan. Mereka adalah para imigran menuju ke arah selatan. Pada abad ke-7 terdapat kerajaan di Jawa, nama kerajaan itu adalah Kalingga. Diduga kerajaan itu berada di Jepara, tepatnya di Kecamatan Keling. Pada tahun 618-906M, Kalingga diperintah oleh seorang raja perempuan bernama Ratu Shima. Seorang penganut agama Hindu, yang merintis kerajaannya menjadi kota pelabuhan. Kelak kota pelabuhan itu banyak dikunjungi oleh kapal asing, baik dari India, Arab, Cina, Kamboja, maupun Eropa Barat. Selain menjadi ramai dibidang pelayaran, perniagaan, dan perdagangan, Jepara menjadi salah satu pintu gerbang masuknya berbagai pengaruh asing.
Sumber Foto : befren.com |
Perkembangan selanjutnya, Jepara berada di bawah pemerintahan Ratu Kalinyamat yang berkuasa 1549-1579M, yang menggantikan kedudukan sultan kalinyamat, setelah suaminya itu dibunuh oleh Arya Penangsang. Selama pemerintahan Ratu Kalinyamat, pelabuhan Jepara mengalami perkembangan yang pesat, tidak hanya dibidang pertahanan, Jepara pun mengalami peningkatan dibidang perekonomian.
Sumber Foto : goodnewsfromindonesia.id |
Pelabuhan Jepara makin sepi dengan munculnya sedimentasi hingga menyebabkan Jepara yang semula terpisah kini menyatu dengan daratan. Faktor lingkungan ini diperparah dengan konflik antara penduduk lokal dengan VOC dengan dibakarnya benteng sebanyak 2 kali. Puncaknya pada tahun 1743M, Pakubuwono II menyerahkan semua pengelolaan pelabuhan sepanjang Pantai Utara Jawa pada Belanda sebagai bagian dari balas jasa dalam perang Pacina.
Selanjutnya, Jepara dipimpin oleh Adipati Citro Sumo III, Citro Sumo IV, Citro Sumo V, Citro Sumo VI, dan Tumenggung Cendol. Pada tahun 1838, Adipati Citro Sumo VI kembali menjabat sebagai bupati Jepara yang dilanjutkan oleh Adipati Citro Sumo VII. Pada tanggal 22 Desember 1857, Citro Sumo VII digantikan oleh Raden Tumenggung Citro Wikromo yang kemudian digantikan oleh Sosroningrat. Pada tahun 1905, Kusoemo Oetoyo diangkat sebagai bupati Jepara. Masa pemerintahnnya bersamaan dengan munculnya pergerakan nasional yang menandai kebangkitan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Pada tahun 1927, Soekahar diangkat sebagai Bupati Jepara. Masa pemerintahan Soekahar bersamaan dengan jatuhnya pemerintahan Hindia Belanda ditangan militer jepang yakni Maret 1942. Semasa kekuasaan Jepang, Bupati Jepara dipercayakan pada Sumitro Oetoyo yang menjabat hingga awal kemerdekaan.